Laporan Ramadhan Panjaitan
Menonton film ’Say I Love You’ mengubah perspektif dan cara pandang kita tentang karya film yang selama ini banyak menghiasi sejumlah bioskop Indonesia. Berbeda dari cerita kebanyakan, film yang diproduksi Multi Buana Kreasindo (MBK) ini sarat pesan moral. Framing cerita didefinisikan melalui perspektif dialog yang lebih ditonjolkan melalui berbagai ungkapan bersifat motivasi; edukatif.
Film ini disutradarai Faozan Rizal, serta ceritanya ditulis Endik Koeswoyo, dan Alim Sudio. Bertindak sebagai produser, adalah Sahrul Gibran, sineas muda yang pernah menyutradarai film ’Mimpi Ananda Raih Semesta (Mars)’.
Film ’Say I Love You’ dibintangi, Verdi Solaiman, Dinda Hauw, Alvaro Maldini Siregar, Rachel Amanda, Teuku Ryzki, Shenina Cinnamon, Olga Lidya, Butet Kertarejasa, Teuku Rifnu Wikana, serta aktor dan aktris lainnya. Film ini segera tayang di bioskop seluruh Indonesia, mulai, Kamis (04/07/2019) mendatang.
Film Edukatif
Sebuah film seyogianya mencerminkan masyarakat pada zamannya. Tetapi apakah film harus mengedukasi masyarakat? Inilah tuntutan masyarakat yang kerap dibebankan kepada para sineas. Bahwa film harus bersifat mendidik, informatif, dan menghibur.
Sementara tuntutan tersebut kerap juga menjadi dilema sejumlah orang film. Dapat dibayangkan jika cerita film berjalan linier hanya mengandung satu variabel moral. Padahal etika, estetika, dan logika dalam cerita film sangat penting. Hal ini harus dikemas secara proporsional. Sebab etika, estetika, dan logika menjadi bagian dari nilai-nilai dramatikal yang diharapkan dapat mengaduk-aduk emosi penonton.
Namun apapun narasinya film ’Say I Love You’ layak tonton. Terutama para orangtua, pendidik, motivator, dan remaja millennial.
Film ’Say I Love You’ memiliki perspektif berbeda, serta diangkat dari kisah nyata. Film ini juga dikemas lebih kekinian dengan setting cerita yang melibatkan pelajar dengan berbagai problematika kehidupan remaja.
Film ’Say I Love You’ mengangkat kisah kehidupan anak SMA SPI (Selamat Pagi Indonesia) di Kota Batu Malang. “Kisah film yang ditampilkan dari awal hingga akhir semua berdasarkan kisah nyata, ujar Sahrul Gibran, kepada bintangplus.com, usai nonton bareng wartawan, di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (25/06/2019) lalu.
Untuk menyajikan kisah nyata yang menarik, kata Sahrul, tim produksi melakukan riset panjang. “Selama empat tahun kita melakukan riset untuk cerita film ini. Kita gali dan dalami betul bagaimana karakter setiap tokoh, nama dan kisahnya kita tampilkan. Termasuk lokasi shooting film ini juga mengambil setting lokasi aslinya,” terangnya.
Pesannya Terlalu Verbal
Kelemahan film ini adalah dari segi teknik sinematografi. Kaidah sebuah film adalah bahasa gambar. Namun karena terlalu banyak pesan-pesan verbal (motivasi) yang ingin disampaikan, sehingga film ini senang ‘berkata-kata.’
Proses editing; cut to cut dan fotografi film ini juga kurang berhasil menjalin transisi berbagai adegan yang efektif dan kreatif. Seperti sudut kamera, pencahayaan, serta menjaga detil-detil visual penting.
Jangan lupa kualitas film yang baik selain ditentukan oleh blue print (cerita), juga ‘gambar hidup’ (sinematografi) yang secara ideal ikut menentukan antusiasme penonton berbondong-bondong menyaksikannya./***
Editor : Eddie Karsito