Jakarta, Kominfo – Guna mengenang jasa para pejuang yang telah rela berkorban untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, setiap 10 November, diperingati sebagai Hari Pahlawan, sebuah momen bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia.
Dengan nilai-nilai kepahlawanan yang dimiliki para pahlawan, diharapkan juga dapat mengingatkan masyarakat terutama dalam kehidupan berbangsa. Jika dulu pahlawan mengangkat senjata untuk berjuang demi kemerdekaan, saat ini menjadi pahlawan juga dapat dilakukan mulai dari langkah kecil. Apalagi peringatan Hari Pahlawan pada tahun ini berbeda dari sebelumnya, seiring pandemi Covid-19 yang terjadi. Masyarakat pun dapat berperan menjadi pahlawan di tengah wabah virus corona untuk membantu memutus mata rantai penyebarannya.
Sejak awal Maret hingga kini, Indonesia tengah berjuang untuk memproduksi vaksin Covid-19 secara mandiri dalam perang melawanpandemi Covid-19. Dalam upaya tersebut, ada orang-orang yang turut memiberikan sumbangsih guna membantu Indonesia berjuang melawan pandemi ini agar masyarakat bisa kembali hidup ‘normal’ meskipun dengan sejumlah kebiasaan baru yang harus diterapkan dalam beberapa waktu ke depan. Mereka Sri Rezeki dan Kusnandi Rusmil. Keduanya sama-sama berprofesi sebagai dokter dan merupakan dua dari banyak tokoh inspiratif di bidang kesehatan.
Bagi masyarakat, saat ini dokter merupakan pahlawan kesehatan karena tidak mengenal kata lelah untuk menyehatkan bangsa, lebih-lebih di masa pandemi seperti ini. Tidak hanya kepada tenaga kesehatan yang berada di garis depan, namun juga yang bekerja di laboratorium dan mereka yang tengah berjuang melawan penyakit lain selain Covid-19.
Oleh karena itu, dalam rangka memperingati Hari Pahlawan Nasional, Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), menggelar acara Dialog Produktif dengan tema Berjuang Tanpa Lelah Menyiapkan Vaksin, dari Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Bergelut Dengan Penyakit, Layani Masyarakat
Dalam diskusi tersebut, Sri dan Kusnandi membagikan bagaimana kisah mereka memperjuangkan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat. Dimulai dari Sri, mengawalii kisahnya ia bercerita tentang perjalanan panjangnya dalam memperjuangkan imunisasi di Indonesia.
Perempuan kelahiran Solo, 14 Mei 1946 ini, mulai akrab dengan vaksin sejak dia bergelut dengan penyakit infeksi pada anak-anak. Baginya, kesehatan anak adalah ilmu tersulit dalam kedokteran.
“Alasannya sederhana, Pasalnya, bayi dan anak-anak yang masih terkendala komunikasi, membuat dokter punya tantangan tersendiri dalam memberikan diagnosis,” kata Sri.
Berangkat dari minat yang digelutinya, Sri berpikir bahwa imunisasi perlu dilakukan lebih masif untuk mencegah terjangkitnya penyakit infeksi pada anak-anak. Seiring berjalannya waktu, dia kemudian bertugas di RS Cipto Mangunkusumo dan semakin banyak bergelut dengan penyakit infeksi pada anak-anak.
Perjalanan Sri dalam memperjuangkan imunisasi semakin matang setelah dirinya didapuk sebagai Ketua Satgas Imunisasi dalam Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan menjadi Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) sampai saat ini.
Sri mengatakan bahwa dirinya mulai terdorong untuk memperjuangkan kesehatan anak Indonesia saat ditugaskan ke pelosok Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, selepas menyelesaikan pendidikan dokter pada 1972. Baginya, bidang ini adalah ilmu tersulit dalam kedokteran.
Pada periode tersebut, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak di Universitas Indonesia ini menyadari bahwa permasalahan kesehatan anak-anak Indonesia cukup besar. Kesadaran tentang betapa pentingnya vaksin ini semakin terpupuk setelah ia pindah tugas ke Jakarta dan merintis program karang balita, yang kemudian bertransformasi menjadi Pos Pelayanan Keluarga Berencana, yang kemudian bertransformasi menjadi Kesehatan Terpadu (Posyandu).
Seiring berjalannya waktu, Sri menyampaikan gagasannya agar imunisasi perlu dilakukan lebih massif. Baginya, imunisasi merupakan standar kesejahteraan sebuah negara. Menurutnya, cakupan imunisasi yang luas memberi gambaran tentang kemajuan ekonomi dan sosial suatu negara.
“Jadi kalau mau melihat standar sejahteranya negara, itu termasuk imunisasi”, ujarnya.
Menyoal upaya pencegahan penyakit, Sri menyebutkan ada dua aspek dasar yang harus dipenuhi oleh negara yakni, air bersih yang merata dan imunisasi.
“Saat dua hal ini bisa disediakan oleh Negara dengan baik, maka nyaris 70 persen masalah kesehatan anak terkait infeksi penyakit bisa teratasi,” jelasnya.
Lakukan 26 Uji Klinis Vaksin
Senada dengan Sri, dalam kesempata yang sama, Kusnandi Rusmil turut berkisah mengenai perjalanan karirnya melayani masyarakat. Sebagai seorang tenaga medis, ia merintis karir dari level puskesmas dan menamatkan pendidikan dokter pada 1976 untuk kemudian melanjutkan baktinya pada sebuah puskesmas di Lampung.
Bekerja di pelosok Lampung selama 8 tahun, membawa Kusnandi berpikir tentang betapa kompleks permasalahan kesehatan anak-anak pada saat itu. Apalagi, vaksin belum berkembang dengan baik.
Setelah sempat pindah tugas ke Sumatera Barat dan merampungkan pendidikan spesialis, Kusnandi lantas menjadi tenaga pengajar pediatri sosial di Universitas Padjajaran, Bandung. Di sana, ia didaulat sebagai Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19. Dalam mata kuliah yang diajar, Kusnandi fokus memberi pelajaran mengenai imunisasi.
Kedekatan lokasi Unpad dan PT. Bio Farma juga membuat keilmuan Kusnandi banyak digunakan dalam persiapan produksi beragam vaksin. Nyaris seluruh produk vaksin yang dikembangkan Bio Farma melibatkan keahliannya.
“Saya mendapat kepercayaan untuk melaksanakan hampir semua imunisasi. Jadi mulai dari imunisasi DPT, Hepatitis B, uji klinis fase I-II, kemudian Pentabio, kemudian bersama Sri saya meneliti vaksin Dengue, kemudian vaksin Pneumococcus,” tuturnya.
Dalam pemaparannya, Kusnandi menyatakan bahwa dirinya telah melakukan 26 uji klinis vaksin, termasuk uji klinis fase III vaksin Covid-19 di Indonesia sampai dengan saat ini.
“Sudah 1620 subjek penelitian yang telah selesai divaksinasi. Tinggal kita ikuti perkembangannya,” tandasnya.
Lebih lanjut, Kusnandi mengungkapkan, sebelum divaksinasi mereka diambil darahnya, kemudian satu, tiga, dan enam bulan setelah disuntik diambil darahnya lagi untuk selajutnya dilakukan evaluasi keamanan vaksin, kadar zat anti bodi, dan efikasinya.
“Sejauh ini tidak ada efek samping yang berbahaya yang dialami relawan. Jadi kita harus bekerja keras agar cakupan imunisasi di Indonesia meningkat. Karena penyakit yang kerap menjangkit anak itu penyakit-penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi,” paparnya.
Baik Sri dan Kusnandi sama-sama sepakat, imunisasi merupakan hal penting yang harus terus diperjuangkan pemerintah Indonesia. Tujuan akhirnya tentu mencegah beragam penyakit infeksi yang menjangkit anak-anak atau masyarakat usia dewasa. (hm.ys)
Sumber : Kominfo