Kekinian kita sebagai bangsa tidak berdiri di ruang kosong. Ia berproses melalui sejarah panjang. Tanpa landasan historis, maka kekinian kita akan menjadi hampa. Adalah fakta sejarah bagaimana ’Ludruk’ sebagai karya kesenian tradisi lokal jenius, secara efektif ikut membangun anak bangsa dalam memberi spirit patriotik budaya.
Spirit inilah yang dipersembahkan para duta seni dari Kabupaten Mojokerto, melalui kesenian ’Ludruk’ dengan lakon ’Nyi Roro Kidul Mantu.’ Pementasan ’Ludruk’ ini masih terkait dengan penyelenggaraan ‘Anugerah Duta Seni Budaya Jawa Timur’ yang setiap minggu digelar di Anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia (TMII) Jakarta, Minggu (03/10/2019).
’Ludruk’ (pernah) menjadi kesenian rakyat paling populer di Jawa Timur, dengan keunikannya, kelucuan penokohnya, menghibur, dan enerjik. Memberi spirit survivalitas, futuristik, dengan kritik sosial bertema kekinian.
Seni pertunjukan ini memiliki berbagai elemen penting dan spesifik, yaitu tari ’Ngremo,’ tembang atau ’Kidungan,’ ‘Dagelan,’, dan ‘Lakon’ atau cerita. Ketiga elemen tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari pementasan ’Ludruk.’
“Kesenian ’Ludruk’ punya daya tarik tersendiri. Tapi secara luas masyarakat banyak yang belum mengenal. Tampilnya ’Ludruk’ di Anjungan Jawa Timur, adalah upaya agar kesenian ini lebih dikenal juga diminati. Berharap setelah ini ada pengembangan ke arah lebih baik. Jangan begitu tampil tidak ada tindak lanjut,” ujar Plt. Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mojokerto, Sudiono, SH, MM, menyampaikan sambutan.
Tarian ’Ngremo’ yang menjadi elemen kesenian ’Ludruk,’ adalah tarian khas Jawa Timur yang dapat diartikan sebagai tari kepahlawanan. Sedangkan ’Kidung’ merupakan nyanyian berbentuk puisi atau pantun, yang diiringi gamelan khas Jawa Timuran. ’Kidung’ secara khas juga kerap disebut ’Parikan.’
’Kidung’ dan atau ’Parikan,’ serta ’Ngremo’ kerap dibawakan oleh penari sekaligus penyanyi baik, laki-laki maupun perempuan. Namun ada juga kidung ’Parikan,’ yang dibawakan oleh seorang ’dagelan’ (pelawak). Sementara lakon atau ceritanya banyak bersumber dari legenda, sejarah, dan cerita-cerita keseharian di masyarakat.
Ludruk Menjadi Korban Perubahan
Iklim reformasi membawa nasib kurang baik bagi ’Ludruk.’ Kesenian ini juga turut menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis tontonan dan hiburan.
“Dalam situasi seperti itu tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang dekat dengan gaya hidup modern. Namun tetap tidak meninggalkan apa yang sudah menjadi pakem (acuan); kesenian ’Ludruk,” ujar seniman tradisional, Tarsan ‘Srimulat’ yang ikut menyaksikan pergelaran ini.
’Ludruk’ kata Tarsan, lahir sebagai sebuah kesenian anti kemapanan (kritik sosial) dalam struktur masyarakat Jawa Timur. Pada masanya masyarakat menemukan bentuk sindiran (pasemon) sebagai pintu artikulasi yang populer dalam hal kritik dan kontrol kebijakan penguasa saat itu.
Walau tidak dapat merubah praktik-praktik skandal dalam kekuasaan secara menyeluruh, namun ’Ludruk’ dianggap layak sebagai representasi kebudayaan dalam sosiologi masyarakat yang tertindas.
Karenanya, kata Tarsan, masyarakat sering merasa segala emosi dan dirinya tercermin dalam ludruk. Kesenian ini seakan menjadi tontonan wajib untuk mengisi ruang refleksi dan kontemplasi diri. “Sekaligus sebagai media partisipasi publik dalam melakukan gerakan protes dan kritik sosial terhadap penguasa dengan etika dan estetika yang terukur,” kata Tarsan.
Hadir menyaksikan pergelaran ini, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Pengelolaan Anjungan Badan Penghubung Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Timur, Samad Widodo, SS, MM, serta beberapa pejabat daerah terkait, dan jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD), Kabupaten Mojokerto.
Selain mementaskan ’Ludruk,’ Pemerintah Kabupaten Mojokerto,juga menggelar bazar yang menjual sejumlah produk unggulan kerajinan dan kuliner.
Para seniman yang terlibat di pergelaran ini, Mulyono (Ide Cerita), Arga Prasetya (Penulis Cerita), Ciplis (Sutradara), Fatah (Asisten Sutradara), Parsim (Penata Musik), Said Kelana (Penata Tari), Dina (Penata Kostum dan Penata Rias), Bokir (Penata Artistik & Property), serta aktor, aktris panggung, puluhan pengrawit, penyanyi dan penari.
Duta seni daerah dari Kabupaten Mojokerto ini, dibawah pembinaan Wakil Bupati Mojokerto, Pungkasiadi, selaku Pelindung. Bertindak sebagai Penasehat, Ir. Herry Suwito (Sekretaris Daerah Kabupaten Mojokerto), Penanggung Jawab, Sudiono, SH, MM, (Plt. Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Mojokerto), dan sebagai Pimpinan Produksi, Mulyono.
Para Juri Pengamat Anugerah Duta Seni Budaya Jawa Timur adalah, Suryandoro, S.Sn (Praktisi dan Pengamat Seni Tradisi), Eddie Karsito (Wartawan, Penggiat Seni & Budaya), Dra. Nursilah, M. Si. (Dosen Seni Tari Universitas Negeri Jakarta), dan Catur Yudianto (Kepala Bagian Pelestarian dan Pengembangan Bidang Budaya TMII).
Selama bulan November 2019, anjungan Jawa Timur akan menampilkan duta seni dari Kota Blitar (10/11/2019), Parade Reyog Ponorogo Dewasa (17/11/2019), serta ‘Gelar Bersama Tari Jawa Timuran’, bersama duta seni daerah dari Kabupaten Pasuruan (24/11/2019)./***
Jakarta, 4 November 2019