Kesenian mungkin saja bisa menjadi salah satu jendela kecil untuk melongok persepsi, imajinasi, juga opini anak-anak usia remaja dalam menyikapi fenomena sosial. Salah satunya melalui tokoh muda kita, Bathara Saverigadi Dewandoro.
Bathara atau Ara, sapaan akrab bagi seniman muda ini, bukanlah remaja yang mudah tergerus zaman. Mengalami dis-orientasi, krisis identitas sosial-budaya, yang terperangkap dalam gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Ia adalah salah satu dari sekian banyak remaja Indonesia yang mampu memberi inspirasi, dalam bentuk-bentuk karya seni yang terorganisasi secara estetis. “Saya ingin menjadi seniman tari terbaik dunia,” ungkapnya.
Reputasinya di ranah seni – khususnya seni tari – memang beralasan dapat membawa Bathara ke jagad internasional. Kematangan secara empirik, ditambah kemauannya mengeskplorasi dan melakukan berbagai eksperimen, menjadikan karya-karyanya menonjol. Gagasannya akan “gerak” dalam memotret persoalan cukup menarik.
“Seni tari, khususnya tari tradisional adalah bagian dari hidup saya. Saya menuangkan segala perasaan saya lewat tari. Tarian juga yang mengolah jiwa dan raga saya. Saya berupaya mengembangkannya. Saya ingin membuktikan bahwa seni tari tradisional dapat mengharumkan nama Indonesia di mata dunia,” tekad mahasiswa London School of Public Relations Jakarta ini.
Bathara Saverigadi Dewandoro, lahir di Bantul Yogyakarta, 7 Februari 1997. Usianya masih belia. Tetapi karya-karyanya melampaui masa keemasan ekspresi kreatif. Ia memperlihatkan pertumbuhan logika dan penalaran yang lebih dibanding anak-anak seusianya. Belasan karya repertoar tari dilewatinya, baik di dalam negeri maupun di mancanegara. Khususnya melalui pegelaran Drayang (Drama Wayang) : The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka.
Beberapa karyanya antara lain; “Karya” (Koreografi) karya tari Betawi (2016), “Si Tuan Jingga” (2016), “DUH Dara Kesohor” (2017), “Tembang Nestapa”, Ruang Kreatif (2019), “Refusing” Pre Event IDF (2019), “Turn” Jakarta Dance Meet Up (2019) dan beberapa karya lainnya.
Bathara juga menciptakan koreografi untuk tari kolosal “Satu Jiwa” , projek Lamandau Kalimantan Tengah (2018), “Indonesia Jaya” di Istana Negara (2017), dan “Kobar Jiwa Raga” Gala Siswa Indonesia (2018).
Tidak hanya menciptakan tari, dan menari, melainkan Bathara juga bertindak sebagai sutradara. Beberapa karya panggung yang pernah disutradarinya, adalah drama musikal “Gita Sabda Alam” (2016), “TEKAD Indonesia Jaya” KASAU Award ( 2017 ), dan “Move” (2018).
Beberapa event seni budaya yang pernah digagasnya, adalah; “Festival Tari Kreatif Nusantara” (2013), “Festival Tari Kreatif Nusantara” (2015), “17 Berbagi Lewat seni” (2016 – 2017), dan “SWASH : Swargaloka Sharing & Workshop” (2019).
Tampil juga sebagai narasumber dan menjadi bintang tamu di sejumlah televisi swasta, diantaranya di Kick Andy Show Metro TV, Talk Show Coffe Break TV One, reality show “Happy Show” Trans TV, dan NET TV.
Duta Budaya Dunia
Sebagai penggiat budaya, Bathara pernah diutus Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, untuk melaksanakan diplomasi budaya ke Selandia Baru. Lawatan budaya sebelumnya pernah dilakukan Bathara ke India, China, Korea, dan ke berbagai negara lainnya, dalam rangka misi kebudayaan Indonesia.
Bathara menuai banyak penghargaan, antara lain; Juara 1 “Lomba Tari Kreasi Pesta Seni Pelajar Tingkat DKI Jakarta” (2011), yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta. Juara 1 Lomba “Tari Kreasi Se-Jabodetabek – Festival Selaras Pinang (2012). Kemudian menerima penghargaan “Penata Tari Terbaik” dari Himpunan Seni Budaya Bangsa Indonesia (HISBI) 2012, atas karyanya berjudul “Tekad.” Juara 1 Lomba “Tari Kreasi Kelompok Nasional,” yang diselenggarakan Universitas Indonesia dalam rangka 7th NFF National Folklore Festival 2013.
Atas karya dan prakarsanya, Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) akhirnya menempatkan Bathara sebagai “Penata Tari Tradisional Jawa Termuda” (2013). Selanjutnya Bathara kembali menerima Anugerah Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sebagai “Remaja Berprestasi” (2015).
Proses Kaderisasi Swargaloka
Bathara cukup memberi gambaran optimistik akan adanya regenerasi dalam dunia “gerak,” yang diwariskan orangtuanya. Bathara memang tumbuh di lingkungan seniman tradisi. Ayahnya Suryandoro, adalah begawan tari alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Progam Studi Komposisi Tari. Sementara ibunya, Dewi Sulastri, adalah master tari dunia, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Sebagai remaja, Bathara juga bukan sosok sempurna. Ia tetap memiliki kenaifan layaknya remaja kebanyakan. Ia juga menyukai budaya pop, modern lifestyle, fashion, musik, the current food, nonton di bioskop, jalan-jalan di mall, di pusat perbelanjaan, dan gaya hidup masa kini lainnya. “Gaya hidup sekarang ini seperti sudah menjadi kebutuhan anak-anak muda. Saya seperti yang lain juga. Saya suka. Jadi tinggal bagaimana kita menyikapinya. Yang baik kita terima yang buruk kita tolak,” ujar pengagum artis penyanyi Anggun C. Sasmi dan Michael Jackson ini.
Bathara juga produk kultur yang menyeruak sebagai industri budaya pop. Di tengah arus budaya yang datang bagai air bah dari berbagai penjuru. Di tengah booming jogged ‘Oppa Gangnam Style’ dan Harlem Shake, yang sempat populer di seluruh dunia. “Dengan semangat, tekad, kerja keras, kreatif, dan memohon kepada Tuhan, saya yakin dapat membawa kesenian tari tradisi ke wilayah lebih luas. Menjadi seniman tari terbaik dunia seperti penari lainnya,” ujar penggemar Es Susu Coklat dan Telur ini optimis.
Kecenderungan kreatif Bathara layak diapresiasi. Terlebih lingkup media keseniannya yang berdimensi pada dunia pendidikan karakter. Tarian bagi Bathara, adalah salah satu cara untuk; mengamati, menghayati, mengkaji, menemukan, dan mengasah kepekaan rasa. “Eksplorasi tiada henti,” kata seniman yang pernah membintangi Film Televisi (FTV) “Tusuk Konde” yang disutradarai Enison Sinaro ini./***
)* Dikutip dari Buku Drayang Swargaloka : “Opera Terbaik Dunia!” yang ditulis seniman, budayawan dan wartawan senior, Eddie Karsito