Kehidupan Anak-Anak Yatim Piatu “Jangan Ada Lagi Kekerasan & Diskriminasi”

Kabar Bintang +1252 Views

Sesuai dengan tujuan panti asuhan sebagai lembaga kesejahteraan sosial, bahwa panti sosial tidak hanya bertujuan memberikan pelayanan, pemenuhan kebutuhan fisik semata namun juga berfungsi sebagai tempat kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak-anak terlantar yang diharapkan nantinya mereka dapat hidup secara mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak lain yang notabene masih mempunyai orang tua serta berkecukupan. Dengan demikian pelayanan bagi anak terlantar dalam panti social asuhan merupakan suatu sistem, karena di dalam prakteknya terdapat keterikatan-keterikatan berbagai unsur pelayanan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Unsur-unsur pelayanan yang ada dalam panti dalam pelaksanaan asuhan merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingga tidak adanya satu unsur saja dapat mempengaruhi proses pelayanan.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa sistem pelayanan yang dilaksanakan dalam panti asuhan sangat kompleks. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan tekhnologi yang ada memunculkan suatu permasalahan bagaimana membina dan mengembangkan potensi pribadi anak-anak terlantar sehingga nantinya diharapkan mereka mampu bersaing dan bertahan di dalam masyarakat. Mengingat potensi atau kemampuan yang ada dalam pribadi anak-anak tersebut sangat besar untuk dapat dijadikan sebagai modal dalam pelaksanaan pembangunan bangsa. Dalam masa pengasuhan, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan perawatan orang tua. Oleh karena itu, orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya
Perkembangan panti asuhan di Indonesia saat ini cukup dinamis sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki masa depan anak di era globalisasi ini. Tetapi pilihan anak untuk masuk ke panti asuhan pun menjadi sebuah pertanyaan besar karena tidak semua anak berminat untuk tumbuh dan berkembang di sebuah lingkungan asrama. Karena tidak semua lingkungan asrama memberikan kenyamanan dan keamanan seperti tinggal di rumah sendiri. Berbagai kasus kekerasan anak yang terjadi selama ini juga ada dilakukan baik di panti asuhan. Meskipun begitu, tidak selamanya pendidikan di panti asuhan itu salah. Oleh karena itu sangat menarik untuk mengambil penelitian tentang pola kehidupan anak yang diselenggarakan di panti asuhan yang memiliki karakteristik tertentu.

 Anak sebagai Warga Negara

Yang dimaksud dengan anak dalam konvensi PBB (pasal 1), adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang – undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Negara-negara peserta konvensi akan menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi, tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, asal-usul bangsa, suku bangsa atau sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status lain dari anak atau dari orang tua anak atau walinya yang sah menurut hukum (Prinst, 2003: 104). Negara menjamin dan harus memenuhi hak-hak anak yang meliputi:
(1). Hak untuk hidup, meliputi hak untuk mencapai status kesehatan setinggitingginya serta mendapatkan perawatan sebaik-baiknya;
(2).  Hak untuk berkembang, meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial;
(3). Hak atas perlindungan; meliputiperlindungan dan diskriminasi, tindak kekerasan dan ketelantaran terhadap anak; dan
(4). Hak untuk berpartisipasi, meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal mempengaruhi anak.

Hak Anak

Keempat hak anak tersebut di awali adanya Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, yang menetapkan hal-hal penting menyangkut keberadaan anak, yaitu:
1. Hak-hak yang melekat pada diri anak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan diri mereka.
2. Hak-hak atas sebuah nama dan kewarganegaraan sejak lahir.
3. Hak-hak perlindung dari penelantaran dan kekerasan fisik atau pun mental, termasuk siksaan dan eksploitasi.
4. Hak-hak atas pemeliharaan, pendidikan, dan perawatan khusus.
5. Hak-hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai dengan menitik beratkan pada upaya-upaya preventif, pendidikan kesehatan, dan penurunan angka kematian anak.
6. Hak-hak atas Pendidikan dasar yang harus disediakan oleh negara. Dengan penerapan disiplin dalam sekolah yang menghormati harkat dan martabat anak.
7. Hak-hak untuk beristirahat dan bermain, dan mempunyai kesempatan yang sama atas kegiatan-kegiatan budaya dan seni.
8. Hak-hak memperoleh perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang dapat merugikan pendidikan mereka, atau membahayakan kesehatan dan kesejahteraan mereka.
9. Hak-hak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat-obat terlarang dan keterlibatan dalam produksi atau peredarannya.
10. Hak-hak memperoleh perlindungan dari upaya penculikan dan perdagangan anak.
11. Hak-hak memperoleh perawatan atau pelatihan khusus untuk penyembuhan dan rehabilitasi bagi korban perlakuan buruk, penelantaran dan eksploitasi.
12. Hak-hak mendapat perlakuan manusiawi dalam proses hukum sehingga memajukan rasa harkat dan martabat anak-anak yang terlibat kasus hukum untuk kepentingan mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat.

Dalam UUD 1945 dalam pasal 28B ayat 2 disebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Untuk mengimplementasikan amanat konstitusi, Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat sepakat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pemenuhan hak-hak anak agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari  kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Pemenuhan hak anak ini diwujudkan dalam pengembangan kota layak anak, sebagai upaya nyata untuk menyatukan isu hak anak ke dalam
perencanaan dan pembangunan kabupaten/kota. Pengembangan Kota Layak Anak secara terus menerus diimplementasikan ke sejumlah bagian kabupaten/kota yang terbatas dengan program pelayanan dasar perkotaan yang secara maksimum didukung oleh sumber daya yang ada. Dengan mengintegrasikan konsep perlindungan anak ke dalam program pembangunan
kabupaten/kota akan lebih mudah dibandingkan dengan merealisasikan Konvensi Hak Anak secara langsung. Sebagai warga kota, anak dapat:
1. Berkontribusi terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kotanya.
2. Mengekspresikan pendapat mereka tentang kota yang mereka inginkan.
3. Dapat berpartisipasi dalam kehidupan keluarga, komunitas, dan sosial.
4. Berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan sosial.
Salah satu keberhasilan mewujudkan kota layak anak adalah adanya lingkungan yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan berkembang anak. Lingkungan yang dimaksud salah satunya adalah lingkungan panti asuhan.

Kenapa Mereka Kabur Dari Panti Asuhan ???

Menjadi kabur ketika dalam kenyataan di lapangan masih terdapat diskriminasi pada komunitas anak yang tidak beruntung dari segi ekonomi, sosial, maupun budaya dalam potret banyaknya anak yang hidup terlantar. Dalam beberapa keadaan tertentu keluarga tak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dalam pemenuhan kebutuhan anak, yang kemudian menyebabkan keterlantaran pada anak.

Beberapa penyebab keterlantaran
anak, antara lain:

  1. Orang tua meninggal dan atau tidak ada sanak keluarga yang merawatnya
    sehingga anak terlantar
  2. Orang tua tidak mampu (sangat miskin) sehingga tidak dapat memenuhi
    kebutuhan minimal anak-anaknya
  3. Orang tua tidak dapat dan tidak sanggup melaksanakan fungsinya dengan
    baik atau dengan wajar dalam waktu relatif lama misalnya menderita
    penyakit kronis dan lain-lain.” (BKPA: Pedoman Panti Asuhan, 1979).

Menurut Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, definisi anak terlantar adalah sebagai berikut: ”Anak terlantar adalah anak yang karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjalankan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial” (UU No. 4/1979, Tentang Kesejahteraan anak Bab 1 Pasal 1)
Ciri-ciri anak terlantar adalah:
Pertama, kurang kasih sayang dan bimbingan dari orang tua; kedua, lingkungan keluarga kurang membantu perkembangannya, ketiga, kurang pendidikan dan pengetahuan; keempat
kurang bermain; kelima, kurang adanya kepastian tentang hari esok dan lain-lain (BPAS, 1986:111). Keterlantaran anak yang terjadi karena fungsi keluarga yang tidak dapat dijalankan secara baik tersebut kemudian diatasi, salah satunya oleh panti asuhan. Panti asuhan mencoba untuk menggantikan keluarga dalam menggantikan menjalankan fungsi keluarga guna pemenuhan kebutuhan anak, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. Panti asuhan adalah
rumah, tempat untuk memelihara, merawat, mengasuh anak-anak yang berasal dari latar belakang status sosial bermasalah (yatim, piatu, yatim piatu, terlantar, miskin, keluarga retak dan orang tua sakit) Menurut buku Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan Pengetahuan Anak Melalui Panti Asuhan Anak, mengenai definisi dari Panti Asuhan bahwa: “Panti Asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan social yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti, atau perwalian anak dalam memenuhi
kebutuhan fisik, mental dan sosial kepada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya sesuai dengan yang diharapkan
sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa, sebagai insane yang akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional” (Depsos RI, 1986:3).
Sedangkan menurut Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan (BPKPK), definisi dari Panti Asuhan adalah: ”Panti asuhan dapat diartikan sebagai suatu lembaga untuk mengasuhanak-anak, menjaga dan memberikan bimbingan dari pimpinan kepada anak dengan tujuan agar mereka dapat menjadi manusia dewasa yangcakap dan berguna serta bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat kelak di kemudian hari. Panti asuhan dapat pula dikatakan atau berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orang tua; sehubungan dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya” (BPKPK: PA, 1982:1).
Dengan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa peranan panti asuhan bukan hanya menyantuni akan tetapi juga berfungsi sebagai pengganti orang tua yang tidak mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya. Selain itu panti asuhan juga memberikan pelayanan dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah pengembangan pribadi yang wajar dan kemampuan ketrampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat.

Umumnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah:
1. Anak yatim, piatu dan yatim piatu terlantar
2. Anak terlantar yang keluarganya mengalami perpecahan, sehingga tidak
memungkinkan anak dapat berkembang secara wajar baik jasmani, rohani maupun sosial
3. Anak terlantar yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak mampu
melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar.

Penyebab keterlantaran ini antara lain salah satu atau kedua orang tuanya meninggal sehingga tidak ada yang merawat. Dengan demikian yang bertempat tinggal di dalam panti asuhan berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda-beda yang akan membentuk lingkungan masyarakat yang baru. Panti asuhan baik yang diselenggarakan oleh negara maupun yayasan dimaksudkan sebagai tempat bernaung bagi anak-anak terlantar dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang mengalami berbagai macam gangguan sosial, baik bersifat intrinsik yaitu berasal dari anak itu sendiri maupun ekstrinsik yaitu karena pengaruh lingkungan luar dari anak, seperti orang tua tunggal, perpecahan dalam keluarga, kemiskinan dan lain sebagainya sehingga anak menjadi terlantar.
Sesuai dengan definisi di atas, panti asuhan memberikan pelayanan pemeliharaan baik  secara fisik, mental maupun sosial. Namun secara lebih lanjut, kondisi mental dan sosial anak asuh menjadi perhatian khusus. Dengan visinya yang ingin membentuk manusia secara utuh dengan cara memanusiakan manusia, panti asuhan mencoba untuk membentuk anak asuhnya dalam menghadapi stereotif masyarakat yang memandang bahwa anak panti asuhan memiliki kelas yang lebih rendah dan minder ini coba untuk diatasi panti asuhan ini melalui para pengasuh. Peranan seorang pengasuh, mencerminkan tanggung jawab pengasuh untuk menghidupkan seluruh sumber daya yang ada di panti asuhan. Pada umumnya panti asuhan
memberikan penanaman nilai-nilai kepercayaan diri agar bisa menerima kondisi dirinya dan mengatasi rasa minder dan rendah dirinya.

Pola pengasuhan adalah bentuk perlakuan atau tindakan pengasuh untuk memelihara, melindungi, mendampingi, mengajar dan membimbing anak selama masa perkembangan. Pengasuhan berasal dari kata asuh yang mempunyai makna menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil (Poerwadarminta, 1984). Menurut Wagnel dan Funk bahwa mengasuh itu
meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan kearah kedewasaan dengan memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya terhadap mereka yang diasuh (Sunarti dkk, 1989:3). Pengasuhan anak (Child Rearing) adalah salah satu bagian penting dalam proses sosialisasi. Pengasuhan anak dalam suatu masyarakat berarti suatu cara dalam mempersiapkan seseorang menjadi anggota masyarakat. Artinya mempersiapkan orang itu untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan dan berpedoman pada kebudayaan yang didukungnya. Dengan
demikian pengasuhan anak yang merupakan bagian dari sosialisasi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kebudayan dalam suatu masyarakat tertentu.
Sejak kecil anak mulai belajar dari orang tua tentang norma-norma dan dilatih untuk berbuat sesuai dengan norma tersebut, maka langsung maupun tidak langsung ia sebenarnya belajar mengendalikan diri, ia belajar mengikuti aturan-aturan atau norma yang berlaku, dan belajar mengakui adanya sejumlah hak dan kewajiban yang ada dibalik aturan dan norma
tersebut. Akhirnya ia belajar pula mengenai adanya sanksi-sanksi bagi yang melanggar aturan dan norma itu.
Melalui proses sosialisasi seseorang akan mengenal nilai dan norma, dan kemudian mengidentifikasikan dirinya menjadi suatu pribadi. Sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang menghayati atau mendarah dagingkan (internalize) nilai-nilai dan norma-norma kelompok dimana la hidup sehingga timbullah diri yang unik (Horton dan Hunt 1991: 100)
Dalam sosialisasi, kepribadian seseorang akan terbentuk. Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seseorang individu dengan system kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi. Kepribadian dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: warisan biologis,
lingkungan fisik, kebudayaan, pengalaman kelompok dan pengalaman unik. Kepribadian menyatakan cara berperilaku dan bertindak yang khas dariseseorang setiap harinya, yang merupakan hasil perpaduan dari kecenderungan perilaku seseorang dan situasi perilaku yang dihadapi seseorang. Dengan kata lain, kepribadian adalah merupakan keseluruhan faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu (Horton dan Hunt, 1991: 90).
Kepribadian seseorang yang terbentuk tersebut merupakan wujud dari bentukan nilai yang telah tersosialisasi dan terinternalisasi dalam diri seseorang. Dengan demikian nilai merupakan salah satu hal utama yang menjadi tujuan sosialisasi.

 

 

Untuk Sahabat BintangPlus ANT  si Bocah Kreatif (Tukang Servis Hp) 
“ANT seorang Yatim Piatu (15thn) bekerja sebagai servis hp untuk menghidupi adik-adiknya, pernah tinggal di Panti Asuhan”

Leave a Reply