DEWI SULASTRI “Membuat jejak, Menciptakan Impresi dan Sugesti”

‘Rumah’ adalah tempat melahirkan; kehadiran identitas, konstruksi jatidiri, legitimasi hidup, yang menyimpan sejarah dan nubuat manusia. ‘Rumah’ adalah ruang pencarian tanpa batas dari sebuah kesadaran. Dan ‘rumah’ itu bernama Swargaloka.

Menyibak jejak Swargaloka tak dapat dipisahkan dengan sosok Dewi Sulastri. Dewi termasuk salah satu seniman yang ikut mempelopori dan merintis berdirinya komunitas seni ini sejak tahun 1993. Bersama seniman tari, Suryandoro — yang tak lain adalah suaminya – Dewi terus merefleksikan gagasan dari beragam pengalamannya berkesenian.

Drayang (Drama Wayang) : The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka, menjadi titik penting perjalanan berkesenian Dewi. Seni pertunjukan ini menjadi semacam media ungkap di mana semua kegelisahan kreatifnya tertumpah. Harapannya untuk mempersembahkan sebuah sajian kesenian tradisional; klasik, seni rakyat, dengan sentuhan populis, modern, dan fantastik, yang terkolaborasi menjadi ekspresi secara utuh.

Di berbagai tema pergelaran Drayang Swargaloka, Dewi Sulastri selalu mendapat kepercayaan untuk memegang kendali peran penting; role story. Dari mulai pemrakarsa, perannya sebagai motivator, instruktur, disain kreatif, dalang, hingga penampilannya berakting, menari dan menyanyi, di atas panggung.

Semangat berkarya Dewi terus bergerak melahirkan karya baru. Salah satu karyanya yang monumental adalah drama tari dan musik, “Jejak Asa Sang Dewi” yang dipentaskan ber-‘jilid-jilid’. Karya ini menjadi refleksi dan gagasan dari beragam pengalamannya berkesenian selama bertahun–tahun.

“Jejak Asa Sang Dewi” menjadi metafora dan kesadaran ‘rumah.’ Pragmen dari keluarga seniman tari untuk bercerita dan bercermin pada hari-hari mereka yang sesak dengan mimpi-mimpi. Memberi imaji bahwa seni ini (tari tradisi) akan hidup lebih lama. Membuka kesadaran manusia dan kemudian menentukan nilai-nilai hidup.

“Tari adalah ekspresi jiwa dan imajinasi saya. Dari sini saya menginterpretasi. Mengolah. Dan apa yang saya persembahkan adalah bagian dari respon terhadap ritme perjalan hidup. Menggabungkan esensi disiplin seni (Tari dan Tembang) yang saya jalani dalam sebuah pola penciptaan karya,” ujar Dewi Sulastri.

Melalui Swargaloka, Dewi terus membuat jejak, menciptakan impresi dan sugesti. Seniman kelahiran Jepara, 15 Maret 1966 ini, kemudian banyak melahirkan karya. Mencipta dan menggelar puluhan karya seni tari.

Beberapa karyanya adalah; tari “Srimpi Retno Utama” (1989), tari “Merak Mangigel” (1989), tari “Bondan Suko Asih” (1989), tari “Prajuritan” (1989), tari “Domba Nino Banyumasan” (1989), tari “Bedaya Dewi Sri” (2003), tari “Bedoyo Aji Soko” (2008), tari “Bedoyo Tri Sabdo Tunggal Indonesia” (2009), tari “Bedoyo Merah Putih” (2009), opera “Sejarah Senopati Pamungkas” (2009).

Karya masterpiece dan monumental adalah The Indonesian Opera Drama Wayang Swargaloka, yang dirintis sejak tahun 2006, hingga saat ini eksis dan terus dikembangkan. Karya inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dan diinisiasi dan diharapkan menuju; menjadi : “Opera Terbaik Dunia.”

Karya Dewi Sulastri lainnya, adalah; tari ”Bedayan Tembang Alit” (2016), tari ”Bedayan Ura-Ura” (2017), tari ”Bedayan Wilwatikta” (2017), tari ”Bedayan Wulangreh” (2019), serta tari ”Bedayan Ajang Gayung” (2019).

Beberapa prestasi yang pernah diraih seniman alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Progam Studi Komposisi Tari ini, meliputi; Sutradara Terbaik Festival WOPA (Wayang Orang Panggung) se-Indonesia ke I Tahun 1987, Pemeran Terbaik Wanita Festival WOPA se-Indonesia II, III dan IV Tahun 1988 – 1989 1990, Penari Bambangan Terbaik Lomba Tari Tradisi se-Jawa Tengah Tahun 1987, peraih Rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) Tahun 2008, sebagai Sutradara dan Penari Wayang Orang yang semua pelakonnya perempuan, dan Penata Tari Terbaik Festival Sendratari Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1990.

Master Tari Dunia
Seperti harapannya ingin menduniakan kesenian tradisional Indonesia, Dewi juga mengusung berbagai karya keseniannya dan tampil di berbagai Negara.

Tahun 1989 Dewi melakukan lawatan budaya ke Perancis dan Spanyol, mementaskan “Langen Mondrowanaran” dalam rangka promosi budaya Yogyakarta .

Tahun 1990 melawat ke Amsterdam Belanda, dalam rangka promosi budaya dan pariwisata Indonesia. Tahun 1997 Dewi mengikuti Misi Budaya ke Tokyo Jepang, bersama delegasi Pelangi Nusantara Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.

Bersama tim Dedy Dance Compeny, Dewi kembali bertandang ke Belanda mementaskan , “Kunti Pinilih” (tahun 1997). Disusul tahun berikutnya (1998), Dewi kembali mendatangi negeri bunga tulip ini dalam rangka promosi budaya Indonesia.

Tahun 1998 bersama Hj. DR. BRA. Mooryati Soedibyo, S.S., M. Hum (Pendiri Mustika Ratu), Dewi mengikuti lawatan budaya ke Moskow Rusia. Tahun 2006 berkunjung ke Chennai, Tamil Nadu India, bersama delegasi kesenian Swargaloka. Tahun 2009 kembali berkunjung ke Rusia mewakili komunitas seni Swargaloka dan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (senawangi).

Tahun 2010 Dewi melawat ke benua Kanguru, Sydney Australia, bersama rombongan kesenian Sekar Budaya Nusantara, pimpinan Nani Sudarsono (Menteri Sosial Kabinet Pembangunan IV pemerintahan Presiden Soeharto). Di tahun yang sama bersama delegasi Sekar Budaya Nusantara, Dewi menampilkan kesenian Wayang Orang (WO) di India.

Tahun 2011 bersama budayawan Jaya Suprana, Dewi kembali mementaskan kesenian Wayang Orang (WO) di Australia. Tahun 2013 mementaskan kesenian Wayang Orang (WO) di Perancis. Di tahun yang sama, bersama Jaya Suprana, Dewi menampilkan kesenian Wayang Orang (WO) di New York, Amerika Serikat.

Hampir sepanjang tahun Dewi Sulastri melakukan lawatan budaya ke luar negeri. Tiga tahun berturut-turut, Dewi Sulastri melakukan lawatan budaya ke tiga Negara; Bangkok (2017), Rusia (2018), dan Jerman (2019). Misi budaya ini dalam rangka mengenalkan kesenian Wayang Orang (WO) melalui workshop yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Di Jerman workshop berlangsung di tiga kota; Hamburg, Gottingen, dan kota Bremen.

Selain tampil di berbagai pentas kesenian, saat ini Dewi aktif mengajar di Swargaloka School of Dance. Tidak hanya berbagi ilmu di “rumah” yang ia dirikan, tapi di institusi seni lain yang memiliki semangat serupa, antara lain, di The Ary Suta Center, Jaya Suparana School of Performing Art, dan di Omah Budaya Wulangreh.

Bagi Dewi Sulastri “rumah” adalah arsitektur; metafora bentuk, ruang dan fungsi. Menjadi sel tunggal yang memiliki kemampuan memperbaiki kehidupan sekitarnya. Berfungsi sebagai atap; vegetasi peneduh, kolam pendingin, cross ventilation yang menyegarkan, yaitu “rumah”; Drayang Swargaloka : “Opera Terbaik Dunia!”

)* Dikutip dari Buku Drayang Swargaloka : “Opera Terbaik Dunia!” yang ditulis seniman, budayawan dan wartawan senior, Eddie Karsito.

Leave a Reply